Desa Peduli Anak Miskin, Mungkinkah?

  • Jul 26, 2018
  • kerangkulon

Desa Peduli Pendidikan Anak Miskin, Mungkinkah? Ditulis oleh Alimah [caption id="attachment_287" align="alignnone" width="1024"] Para generasi penerus Bangsa[/caption] Selain layanan kesehatan, layanan publik dasar yang sering menjadi persoalan di desa adalah pendidikan. Dalam proses pembelajaran Sekolah Desa di sejumlah desa baik Jawa maupun Luar Jawa, telah menguak kesadaran orang tua di desa masih rendah untuk menyekolahkan anaknya. Dalam proses pendampingan yang dilakukan tim Infest Yogyakarta melalui Sekolah Desa, persoalan pendidikan masih menjadi tantangan bagi pemerintah desa (Pemdes). Anak-anak miskin di desa yang putus sekolah para umumnya bekerja serabutan atau membantu orang tuanya. Pengalaman Pemdes yang melakukan pemetaan kelompok marjinal juga masih kesulitan menggali informasi kebutuhan anak-anak. [caption id="attachment_288" align="alignnone" width="720"] Diskusi bersama Guru Desa Sutoro Eko Yunanto terkait Pendidikan Untuk warga miskin di desa.[/caption] Dalam sejumlah kasus, anak-anak putus sekolah bukan hanya disebabkan karena faktor ekonomi keluarga. Keluarga yang tergolong mampu secara ekonomi juga belum tentu mau menyekolahkan anaknya. Karena alasan mereka beragam, di satu pihak karena orang tua mereka tidak mampu membiayai, di sisi lain ada juga orang tua yang mampu namun menganggap bahwa pendidikan itu tidak penting. Padahal anak-anak siapapun dia berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Atau setidaknya, mereka juga punya hak untuk belajar. Pertanyaan selanjutnya, apakah pendidikan itu harus dilakukan di dalam sebuah ruangan kelas. Mengenai ini kita semua tahu bahwa sudah banyak model pendidikan alternatif. Salah satunya sekolah alam, sebuah model pendidikan holistik yang memanfaatkan alam semesta sebagai media belajar. Mulai dari yang paling mahal sampai yang digratiskan. Pengetahuan Berbasis Kearifan Lokal Di sejumlah kota yang saya ketahui, Sekolah Alam masih menjadi barang mahal. Faktor biaya bagi kalangan menengah ke atas mungkin tidak akan menjadi masalah untuk menyekolahkan anak mereka, namun tidak demikian halnya bagi kalangan menengah ke bawah yang boleh dikata penghasilannya serba paspasan. Jadi sekali lagi, bagaimana nasib anak-anak miskin di desa yang putus sekolah? Walaupun secara teori sekolah alam bisa dilakukan dimana saja, dengan fasilitas yang paling sederhana sekalipun. Namun berdasarkan sumber-sumber yang kami jadikan rujukan, sekolah alam membutuhkan tempat yang luas. Saya juga sangat tertarik dengan inisiasi sebuah komunitas di Kabupaten Cirebon. Komunitas tersebut kini sudah berubah menjadi yayasan bernama Yayasan Wangsakerta. Wangsakerta merupakan sekelompok orang pembelajar dan peduli masalah sosial. Dengan keterbatasan sumber daya manusia maupun pendanaan, Wangsakerta berhasil merangkul anak miskin di Desa dampingan mereka untuk belajar dan berkarya di Sekolah Alam yang mereka dirikan. Menurut salah satu fasilitor Sekolah Alam, Farida Mahri, anak-anak putus sekolah itu sebagian besar ditinggal ibunya menjadi buruh migran. Ada juga yang sehari-hari membantu bapaknya menjual cobek. Di Desa Karangdawa memang masih banyak perajin cobek. Anak-anak mereka biasanya memilih untuk membantu orang tuanya. Kabar terkini, anak-anak tersebut sudah mulai menghasilkan karya berupa produk yang dihasilkan dari kerja keras mereka menanam beragam sayuran. Seperti produk “sambal kering”, lalu sari buah pace, dan lain-lain. Inisiasi Desa Peduli Pendidikan Di desa-desa, pada umumnya belum banyak pemerintah desa (Pemdes) yang benar-benar memiliki program peduli pendidikan di desanya. Bukan hanya mendapatkan kebutuhan dasar seperti kesehatan, pendidikan bagi anak-anak miskin putus sekolah juga menjadi persoalan yang terabaikan. Padahal bidang pendidikan juga menjadi salah satu perhatian penting dalam pelayanan dasar. Kebutuhan dan tantangan pendidikan di level desa masih tampak lebih rendah dibandingkan dengan kesehatan. [contact-form][contact-field label="Nama" type="name" required="true" /][contact-field label="Surel" type="email" required="true" /][contact-field label="Situs web" type="url" /][contact-field label="Pesan" type="textarea" /][/contact-form] Semua orang desa membutuhkan kesehatan, sementara pendidikan hanya terbatas dibutuhkan oleh anak-anak usia sekolah. Untuk pendidikan SD yang berada di desa, misalnya, kebutuhan kurikulum, guru, fasilitas dan gaji sudah ditanggung oleh pemerintah kurikulum, guru, fasilitas dan gaji sudah ditanggung oleh pemerintah kabupaten/Kota. Desa tidak mempunyai kewenangan terbatas pada pengelolaan PAUD, pemberian beasiswa anak-anak tidak mampu, pemberantasan buta huruf, dan lebih khusus lagi adalah gerakan membangun sadar pendidikan. Salah satu desa yang pernah saya ketahui memiliki inisiasi untuk pendidikan anak-anak miskin di desanya adalah Tana Modu. Menurut hasil penelitian Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD) (Sutoro Eko, 2014), ada beberapa gerakan penting di bidang pendidikan yang diinisiasi Pemdes Tana Modu bersama warga masyarakat yaitu gerakan menabung untuk pendidikan. Gerakan ini dinisiasi desa bersama warga masyarakat yaitu gerakan menabung untuk pendidikan anak dan gerakan wajib belajar. Desa bekerja sama dengan Bank NTT dalam mengelola tabungan pendidikan. Orang tua wajib menabung untuk anak-anak mereka yang duduk di bangku TK hingga SMA. Tabungan hanya untuk kebutuhan sekolah anak, jika orang tua akan mengambil uang di bank, maka harus melalui rekomendasi Desa. Desa menerima uang tabungan, pihak bak akan datang untuk mengambil uang tabungan, pihak bank akan datang untuk mengambil uang tabungan tersebut. Kepala Desa sangat prihatin dengan kurang bermintanya warga masyarakat menyekolahkan anak hingga Perguruan Tinggi, sedangkan mereka tidak keberatan jika mengeluarkan uang untuk pesta adat. Hal inilah yang mendorong Desa membuat program menabung untuk pendidikan anak. Inisiasi ini muncul karena banyak di dalam desa setelah tamat SMA anak-anak tinggal di rumah. Banyak yang tidak mau melanjutkan karena kendala uang sekolah. Perubahannya, orang tua yang memanfaatkan uangnya untuk mengadakan pesta pernikahan anaknya, kini sudah mengikuti kebijakan desa. Tahun 2013 ada program gerakan menabung untuk anak-anak sekolah. Tahun 2014, desa telah mendapat bukti perubahan perilaku warga masyarakat. Mereka yang sebelumnya tidak berpikir pentingnya pendidikan anak, berubah menjadi orang tua yang sadar pentingnya pendidikan anak. Gerakan peduli pendidikan anak sekolah juga memberlakukan sanksi lokal bagi orang tua yang tidak melaksanakan. Desa kemudian menyusun Perdes No. 06/2013. tentang Wajib Belajar 9 Tahun di mana semua pihak ikut bertanggung jawab dalam mendorong semua warga mengenyam pendidikan dasar. Perdes juga mengatur sanksi lokal bagi orang tua yang abai mendidik anaknya setelah desa melalui RW dan RT memberi teguran pada orang tua tersebut. Ihwal anak sekolah kadang-kadang lekat dengan persoalan perkawinan dini yang memaksa anak tidak melanjutkan sekolah. Dari pembelajaran tersebut, sebenarnya Pemdes mampu menggerakkan kesadaran warga untuk peduli pada pendidikan anaknya. Lebih dari itu, Pemdes juga seharusnya mampu merangkul stakeholder untuk bergerak bersama mengupayakan anggaran bagi warga miskin di desanya. *** Penulis telah mengulas isu yang sama dengan judul berbeda.